Kamis, 29 Desember 2011

Perempuan dan Karya


Oleh: Hapsari Sulistyani

Menulis dengan tema perempuan dan karya memunculkan pertanyaan tentang  perlunya membahas secara khusus perempuan dan karya yang dihasilkanya. Apakah seorang perempuan tidak lazim menghasilkan karya sehingga  perlu ada pembahasan khusus tentang karya perempuan? Analoginya seperti penggunaan istilah “wanita  karir” yang sering dibahas di berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan kajian jender. Pembahasannya seringkali mengarah kepada kenyataan bahwa tidak adanya istilah “pria karir” menunjukkan adanya naturalisasi dari dominasi pria di sektor publik. Naturalisasi ini membuat masyarakat merasa tidak perlu memiliki label khusus bagi pria yang memiliki karir di luar rumah. Sebaliknya karena perempuan secara sosial dikonstruksi berada di rumah maka dirasa perlu untuk melabeli perempuan yang bekerja di luar rumah sebagai “wanita karir”. Jadi ketika kita merasa perlu untuk membuat tema tentang  perempuan dan bagaimana mereka berkarya, muncul kekhawatiran bahwa secara tidak sadar kita mengakui bahwa perempuan berkarya adalah hal yang tidak natural sehingga perlu dikaji secara khusus. Tetapi masalah sebenarnya bukan hanya terletak pada natural atau tidaknya perempuan berkarya, melainkan justru lebih pada relasi kuasa yang terjadi pada proses terciptanya karya perempuan. Relasi kuasa inilah yang membuat karya perempuan perlu untuk dikaji khusus.

Tulisan ini mencoba untuk melihat perempuan berkarya dari sudut pandang relasi kuasa pada proses penciptaan suatu karya. Secara umum apa yang diakui sebagai suatu karya biasanya dipahami sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar ekonomi. Karya yang  demikian tentu saja lebih banyak dihasilkan oleh pria yang secara dominan diposisikan untuk menguasai sektor publik dan lebih berorentasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sedangkan sektor domestik lebih dipandang sebagai kewajiban yang tidak terelakkan bagi perempuan dan hampir pernah diperhitungkan sebagai sesuatu memiliki nilai ekonomi. Karya yang dihasilkan oleh perempuan disektor domestik seperti menghasilkan anak yang sukses atau membuat rumah selalu bersih, adalah karya yang jarang sekali dinilai dengan uang. Jadi ketika seorang perempuan menghasilkan suatu karya yang masuk ke sektor publik, karya tersebut adalah karya yang diciptakan oleh liyan (the others). Artinya karya tersebut dilahirkan oleh perempuan yang sejak lahir secara sosial lebih diposisikan untuk tidak berkarya tetapi “dipaksa” untuk mengabdi di sektor domestik. Karya tersebut diciptakan oleh perempuan yang memiliki pengalaman bertubuh yang berbeda dengan pria. Tubuh perempuan berbeda dengan pria tidak hanya secara bentuk fisik tetapi juga opresi dan pendisiplinan yang dialami oleh tubuh perempuan menghasilkan pengalaman bertubuh yang spesifik. Pengalaman bertubuh dari perempuan memiliki potensi untuk menciptakan bahasa dan karya yang melawan bahasa dan karya yang selama ini didominasi nilai-nilai patriarki.

Cinta: Penjara bagi Fantasi Perempuan
Cinta adalah fokus dari hampir semua karya musik ataupun sastra yang ditujukan kepada perempuan. Sejak kecil anak perempuan sudah didoktrin mengenai posisi dan peran yang harus ia jalankan dengan patuh. Cerita anak seperti Cinderella atau Putri Salju misalnya, merepresentasikan bahwa jika seorang perempuan itu berwajah cantik dan baik (sabar, lemah lembut dan penyayang) maka akan mendapatkan seorang pangeran tampan dan mapan (kaya) yang mencintainya dan memberikan kebahagiaan. Cerita yang memiliki moral sama juga bisa ditemui pada hampir semua cerita pendek atau cerita bersambung di majalah-majalah remaja. Lirik-lirik lagu yang banyak dinyanyikan oleh grup-grup band remaja juga melantunkan isi yang relatif serupa. Banyak sekali remaja perempuan yang menggandrungi grup-grup band tersebut dan memuja romantisme lirik yang ditawarkan pada lagu-lagu mereka. Cerita romantis pada majalah remaja dan lagu-lagu pop tentang cinta sebenarnya merupakan aparatur-aparatur ideologi yang membuat remaja perempuan menempatkan “cinta” sebagai hal yang sangat penting bagi hidup mereka. Remaja perempuan biasanya mulai gelisah dan minder jika tidak ada lelaki yang mendekati mereka. Sebaliknya jika banyak remaja pria yang memberi perhatian atau pernyataan cinta, ada perasaan bangga tersendiri yang muncul. Bahkan sebenarnya kebanyakan fantasi yang dimiliki ramaja perempuan atau bahkan perempuan dewasa adalah fantasi yang tercipta oleh hegemoni pemikiran dari fairy tales seperti Cinderella. Contohnya jika perempuan membayangkan sosok calon suami yang diinginkan pastilah gagah, pintar dan kaya (mapan secara ekonomi) seperti pangeran di cerita dongeng. Hampir tidak ada perempuan yang membayangkan bahwa calon suaminya adalah sosok lembut yang lebih memilih tinggal di rumah untuk merawat anak dan memberikan kebebasan bagi sang istri untuk bekerja di luar rumah. Jadi jika ada argumen yang menyatakan bahwa mengkhayal atau berfantasi adalah kebebasan yang mutlak bagi seorang individu, argumen tersebut masih bisa diperdebatkan, karena kebebasan tersebut sebenarnya tidak dimiliki oleh kebanyakan perempuan. Fantasi perempuan biasanya tetap pada koridor normalitas sosial.

Memang tidak mudah untuk keluar dari belenggu pemaknaan mengenai “cinta” yang sudah demikian merasuk di dalam diri perempuan. Cinta menjadi fokus utama hidup perempuan adalah hasil dari penanaman ideologi yang dilakukan oleh berbagai aparatur ideologi seperti; dongeng, media massa dan bahkan buku-buku pelajaran di sekolah. Menurut Karla Mantila, bahkan seorang perempuan yang mempelajari dan setuju dengan pemikiran-pemikiran feminis sekalipun bisa terjebak di dalam hubungan percintaan yang tidak sehat atau tidak sejajar. Mantila berpendapat hal ini disebabkan karena dibanding dengan pemikiran feminis yang ada pada diri seorang perempuan, sosialisasi mengenai cinta, perasaan dan hasrat jauh lebih mendalam. Kondisi tersebut disebabkan karena sosialisasi mengenai normalitas “cinta” sudah dimulai semenjak kecil dan dilakukan oleh orang-orang terdekat bagi perempuan (keluarga). Salah satu cara untuk membebaskan dari belenggu “cinta” adalah menciptakan atau menikmati karya yang tercipta dari pengalaman tubuh perempuan sehingga karya tersebut beroposisi dengan pemikiran patriarki mengenai bagaimana seharusnya perempuan.

Musik dan Sastra yang Membebaskan
Karya perempuan termasuk di bidang sastra dan musik, memiliki potensi untuk melepaskan perempuan dari penjara sosial yang sangat patriarkis. Para penulis muda perempuan seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu misalnya, menawarkan diskursus yang memungkinkan perempuan untuk memilih tidak menikah ataupun menganggap cinta dan jatuh cinta sebagai hal yang tidak terlalu penting dalam hidup. Meskipun banyak kritik yang ditujukan kepada mereka, termasuk kritik yang mencoba menunjukkan bahwa sebenarnya para penulis perempuan tersebut belum bisa lepas dari pemikiran patriarkis yang berorientasi pada phallus (penis). Tetapi bagaimanapun juga, para penulis perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki hasrat seksual, dan memiliki pengalaman tubuh yang spesifik. Dengan kata lain menjadi “normal” dan bertingkah laku sesuai dengan konvensi sosial tentang perempuan, bukanlah satu-satunya pilihan  bagi perempuan.

Selain sastra, musik juga memiliki potensi besar sebagai media perlawanan. Di negara seperti Amerika dan Inggris berkembang fenomena yang disebut sebagai “riot grrrl.” Fenomena bermusik ini dimotori oleh perempuan-perempuan muda yang muak terhadap musik mainstream atau major label. Mereka menilai major label hanya mengutamakan nilai komersial dan cenderung mengabaikan idealisme bermusik itu sendiri. Mereka juga berargumen bahwa orientasi komersial membuat musik mainstream tidak punya keberanian untuk menawarkan diskursus yang berbeda mengenai cinta, kehidupan dan juga makna menjadi perempuan. Riot Grrrl mencoba untuk menawarkan kepedulian mereka mengenai posisi perempuan di masyarakat melalui musik mereka. Karya yang menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu perempuan dan merepresentasikan ikatan atara sesama perempuan, merupakan upaya signifikan untuk menyadarkan perempuan tentang pilihan yang ada dan karya yang demikian juga memiliki potensi untuk merubah posisi tawar perempuan di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar