Kamis, 29 Desember 2011

Stasiun Kecil yang Tidak Biasa

Perjalanan hari itu akhirnya membawaku ke sebuah stasiun kereta kecil yang tidak biasa. Loketnya baru buka dua jam sebelum keberangkatan, disekitarnya tidak ada tempat makan memadai seperti lazimnya stasiun kereta. Hujan kecil membuatku melangkah ke sebuah warung kecil di pojok stasiun untuk sekedar mendapatkan minuman hangat dan mengisi baterai telepon. Pemandangan tidak biasa kembali menyeruak, warung kecil itu dipenuhi dengan laki-laki berbadan tegap, berseragam, dan bersenjata lengkap. Perasaan gelisah dan bertanya-tanya muncul di benak, sepertinya ada yang tidak beres. Terdengar perdebatan kecil antara mereka dengan seorang bapak separuh baya, entah tentang apa. Aku memutuskan untuk duduk di tempat yang jauh dari mereka. Ibu pemilik warung menghantar minuman teh hangat dan mengajukan pertanyaan yang cukup sering aku dengar disepanjang perjalananku, “Sendirian saja Mbak?”. Seperti biasa aku menjawab pertanyaan itu dengan senyum.  Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku yang telah setia menemani sepanjang perjalanan kali ini. Namun aku tidak berhasil memahami deretan huruf yang terpapar di buku, pikiranku terpaku pada apa yang sebenarnya sedang aku lakukan di tempat asing ini, sementara telingaku tidak bisa menghindar dari perbincangan riuh para pria berseragam dan pengunjung lain di warung kecil itu. Diantara keriuhan, aku mendengar suara kereta datang mendekat, kereta sudah datang padahal masih tiga puluh menit dari keberangkatan. Bergegas aku mengemasi barang-barangku dan melangkah menuju kereta.

Ragu-ragu aku melangkah memasuki gerbong kereta, bau khas kereta bercampur dengan aroma toilet menyambutku tanpa rasa sungkan. Akhirnya aku menemukan tempat dudukku, keningku mengerenyit melihat seseorang yang berselimut rapat sampai menutupi mukanya telah menempati kursiku. Pelan-pelan aku berusaha berbicara, “Maaf, ini tempat duduk saya.” Orang itu terkejut dan serta merta membuka selimut yang menutupi wajahnya, saat itu baru kusadari rupanya dia sedang telpon, dan sepertinya perbincangan rahasia dengan pacarnya. Aku tidak bisa menahan senyum melihat kekagetannya dan sekaligus merasa bersalah karena mengganggu pembicaraan telpon mereka. Anak muda tersebut segera bergeser ke tempat duduk yang seharusnya, dan aku mendapatkan tempat dudukku yang dekat dengan jendela. Penumpang lain berdatangan, para pengantar mengucapkan selamat jalan dengan berbagai ritual perpisahan yang berbeda-beda. Aku membayangkan ritual perpisahan yang biasa aku lakukan dan tiba-tiba merasa sangat sepi. Satu jam berlalu dari jam keberangkatan, belum ada tanda-tanda kereta akan berangkat. Seorang ibu yang duduk di seberang gang tempat dudukku berbicara dengan anak muda disebelahku tentang kereta yang masih belum berangkat karena penumpang kereta belum penuh.  Sambil tersenyum kecil aku berkata dalam hati, kereta disini seperti angkot mengunggu penumpang penuh baru berangkat. Akhirnya, setelah cukup lama berselang kereta beranjak juga dari stasiun kecil yang riuh namun sunyi.

Aku membuka jendela, seperti biasa mencoba mencari sedikit cahaya ditengah kegelapan malam dan tidak menemukan sedikitpun cahaya. Aku memutuskan untuk melihat teleponku dan mulai membalas pesan-pesan yang muncul. Kereta terus berjalan di tengah kegelapan penuh, aku merasa hanya kereta ini yang memiliki cahaya. Sinyal telepon mulai menghilang, aku melihat sekelilingku orang-orang mulai mengilang ke dalam dunia mereka. Di antara wajah-wajah terlelap yang tidak kukenal, mulai muncul pertanyaan tentang diri. Membayangkan peran apa yang sedang aku perankan. Apakah ketika aku berada di antara wajah-wajah yang tidak dikenal , aku masih harus memainkan peran? Peran-peran yang selama ini tertanam kuat secara sosial sehingga membuat aku sering lupa tentang diri. Seringkali peran yang dimainkanlah yang menentukan apa yang bisa terucap dan menekan kemampuan bicara tentang yang sesungguhnya dirasakan. Bahkan seringkali rasa putus asa muncul ketika tidak ada kata yang bisa membuatku bisa dipahami. Betapa terbatasnya pilihan-pilihan bahasa yang ada, sementara pengalaman bertubuh dan jiwa sangat beragam dan dalam. Perasaan sunyi yang muncul bukan hanya karena merasa tidak ada yang bisa memahami, tapi diri sendiri pun tidak paham dan merasa kesulitan untuk menjelaskan apa yang dirasakan. Diri benar-benar menjadi tersunyikan, terasingkan. Berlahan aku membuka kembali jendela, tetap bersikeras mencari cahaya, dan tiba-tiba tersadar bahwa itu lah yang harus aku lakukan, terus berupaya mencari cahaya di antara kegelapan yang pekat.

Kereta itu pun terus melaju sebagai satu-satunya sinar yang mengarungi malam tanpa cahaya.

Lampung – Palembang,  Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar