Minggu, 08 Januari 2012

Menulis Hujan


Pernah pada suatu masa perempuan itu menulis hujan. Rinai hujan dijadikannya rangkaian mimpi mengalir yang berhulu pada harapan. Dia percaya waktu akan berjalan menuju kepada penemuan diri yang sejati. Menemukan esensi  tentang rasa yang terlihat jelas dan linier. Semua seolah bisa dijelaskan melalui rasa yang apa adanya. Hitam dan putih masih terlihat sangat jelas berbeda. Dengan tekun perempuan itu menulis hujan. Menggambarkan rintiknya satu demi satu, berusaha menguraikan kebenaran secara riang. Namun nuansa hujan berlahan berubah jadi abu-abu. Semakin dia berusaha untuk menulis secara jelas, semakin sulit dia menemukan rangkaian kata yang tepat. Tangannya berlahan mulai gemetar, dia mulai ragu akan kebenaran yang tunggal. Perempuan itu menghela nafas dan mulai menyadari berbagai versi kebenaran pada setiap perpektif yang berbeda. Tidak ada kebenaran yang tunggal. Dia pun tak sanggup lagi menulis hujan.


Perempuan itu kini hanya sanggup membaca hujan. Menyesuaiakan mimpi dengan kenyataan. Menelan kekecewaan agar tetap punya harapan. Menjalankan peran yang ada, sambil terus bermimpi yang tiada. Merenung betapa mudah dia terperdaya oleh kata-kata yang hampa.  Menyesal pernah menangisi rayuan dan percaya begitu saja kepada ketulusan. Dia mulai menyadari kehadiran wilayah abu-abu. Membaca norma secara berbeda. Menyadari normalitas berdiri di atas penyingkiran mereka yang dianggap abnormal. Sedih betapa yang merupakan kesepakatan mayoritas menjadi sesuatu yang dianggap natural. Berbagai kekerasan simbolik terjadi tanpa disadari untuk mempertahankan normalitas. Penggandaan realitas tanpa henti membuat mata perempuan itu mulai berair lelah. Hiruk pikuk tanda telah membuatnya kehilangan kemampuan untuk membaca hujan.

Akhirnya, perempuan itu hanya mampu mengeja hujan. Memandang satir pada mimpi-mimpi yang pernah ada. Sadar bahwa ketidaksadaran akan terus ada. Mulai melepaskan semua yang dulu pernah diyakini. Mengeja satu per satu derai hujan dengan suara parau. Memasang wajah hampa pada ketulusan. Merasa betapa mudah dia sakit karena hujan. Dia pun sampai pada keputusan untuk membiarkan kebohongan, memaksakan diri untuk masuk ke dalamnya. Membisukan suaranya ketika dibodohi. Namun segala upaya untuk membuat dirinya kebas, tidak mampu meredam berbagai pertanyaan nurani. Dia mulai mempertanyakan ketidaksadaran, menertawakan kebodohan diri  dan mulai melawan dengan berkata kepada hujan, “Aku tidak mau hanya mengejamu. Aku akan menuliskanmu lagi, namun kali ini dengan caraku, melalui suaraku sendiri.” Tanpa air mata perempuan itu mulai menulis ejaan hujan dengan caranya sendiri.

 Januari, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar