Oleh: Hapsari Sulistyani
Menulis dengan tema
perempuan dan karya memunculkan pertanyaan tentang perlunya membahas secara khusus perempuan dan
karya yang dihasilkanya. Apakah seorang perempuan tidak lazim menghasilkan
karya sehingga perlu ada pembahasan
khusus tentang karya perempuan? Analoginya seperti penggunaan istilah “wanita karir” yang sering dibahas di berbagai mata
kuliah yang berkaitan dengan kajian jender. Pembahasannya seringkali mengarah
kepada kenyataan bahwa tidak adanya istilah “pria karir” menunjukkan adanya naturalisasi
dari dominasi pria di sektor publik. Naturalisasi ini membuat masyarakat merasa
tidak perlu memiliki label khusus bagi pria yang memiliki karir di luar rumah.
Sebaliknya karena perempuan secara sosial dikonstruksi berada di rumah maka
dirasa perlu untuk melabeli perempuan yang bekerja di luar rumah sebagai “wanita
karir”. Jadi ketika kita merasa perlu untuk membuat tema tentang perempuan dan bagaimana mereka berkarya,
muncul kekhawatiran bahwa secara tidak sadar kita mengakui bahwa perempuan
berkarya adalah hal yang tidak natural sehingga perlu dikaji secara khusus. Tetapi
masalah sebenarnya bukan hanya terletak pada natural atau tidaknya perempuan berkarya,
melainkan justru lebih pada relasi kuasa yang terjadi pada proses terciptanya
karya perempuan. Relasi kuasa inilah yang membuat karya perempuan perlu untuk
dikaji khusus.
Tulisan ini mencoba
untuk melihat perempuan berkarya dari sudut pandang relasi kuasa pada proses
penciptaan suatu karya. Secara umum apa yang diakui sebagai suatu karya
biasanya dipahami sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar ekonomi. Karya yang
demikian tentu saja lebih banyak
dihasilkan oleh pria yang secara dominan diposisikan untuk menguasai sektor
publik dan lebih berorentasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga.
Sedangkan sektor domestik lebih dipandang sebagai kewajiban yang tidak
terelakkan bagi perempuan dan hampir pernah diperhitungkan sebagai sesuatu
memiliki nilai ekonomi. Karya yang dihasilkan oleh perempuan disektor domestik seperti
menghasilkan anak yang sukses atau membuat rumah selalu bersih, adalah karya
yang jarang sekali dinilai dengan uang. Jadi ketika seorang perempuan
menghasilkan suatu karya yang masuk ke sektor publik, karya tersebut adalah
karya yang diciptakan oleh liyan (the
others). Artinya karya tersebut dilahirkan oleh perempuan yang sejak lahir
secara sosial lebih diposisikan untuk tidak berkarya tetapi “dipaksa” untuk
mengabdi di sektor domestik. Karya tersebut diciptakan oleh perempuan yang
memiliki pengalaman bertubuh yang berbeda dengan pria. Tubuh perempuan berbeda
dengan pria tidak hanya secara bentuk fisik tetapi juga opresi dan
pendisiplinan yang dialami oleh tubuh perempuan menghasilkan pengalaman
bertubuh yang spesifik. Pengalaman bertubuh dari perempuan memiliki potensi
untuk menciptakan bahasa dan karya yang melawan bahasa dan karya yang selama
ini didominasi nilai-nilai patriarki.
Cinta: Penjara bagi Fantasi Perempuan
Cinta adalah fokus
dari hampir semua karya musik ataupun sastra yang ditujukan kepada perempuan.
Sejak kecil anak perempuan sudah didoktrin mengenai posisi dan peran yang harus
ia jalankan dengan patuh. Cerita anak seperti Cinderella atau Putri Salju
misalnya, merepresentasikan bahwa jika seorang perempuan itu berwajah cantik
dan baik (sabar, lemah lembut dan penyayang) maka akan mendapatkan seorang
pangeran tampan dan mapan (kaya) yang mencintainya dan memberikan kebahagiaan.
Cerita yang memiliki moral sama juga bisa ditemui pada hampir semua cerita
pendek atau cerita bersambung di majalah-majalah remaja. Lirik-lirik lagu yang
banyak dinyanyikan oleh grup-grup band remaja juga melantunkan isi yang relatif
serupa. Banyak sekali remaja perempuan yang menggandrungi grup-grup band
tersebut dan memuja romantisme lirik yang ditawarkan pada lagu-lagu mereka. Cerita
romantis pada majalah remaja dan lagu-lagu pop tentang cinta sebenarnya
merupakan aparatur-aparatur ideologi yang membuat remaja perempuan menempatkan
“cinta” sebagai hal yang sangat penting bagi hidup mereka. Remaja perempuan
biasanya mulai gelisah dan minder jika tidak ada lelaki yang mendekati mereka.
Sebaliknya jika banyak remaja pria yang memberi perhatian atau pernyataan cinta,
ada perasaan bangga tersendiri yang muncul. Bahkan sebenarnya kebanyakan
fantasi yang dimiliki ramaja perempuan atau bahkan perempuan dewasa adalah
fantasi yang tercipta oleh hegemoni pemikiran dari fairy tales seperti Cinderella. Contohnya jika perempuan
membayangkan sosok calon suami yang diinginkan pastilah gagah, pintar dan kaya
(mapan secara ekonomi) seperti pangeran di cerita dongeng. Hampir tidak ada
perempuan yang membayangkan bahwa calon suaminya adalah sosok lembut yang lebih
memilih tinggal di rumah untuk merawat anak dan memberikan kebebasan bagi sang
istri untuk bekerja di luar rumah. Jadi jika ada argumen yang menyatakan bahwa
mengkhayal atau berfantasi adalah kebebasan yang mutlak bagi seorang individu, argumen
tersebut masih bisa diperdebatkan, karena kebebasan tersebut sebenarnya tidak
dimiliki oleh kebanyakan perempuan. Fantasi perempuan biasanya tetap pada
koridor normalitas sosial.
Memang tidak mudah
untuk keluar dari belenggu pemaknaan mengenai “cinta” yang sudah demikian
merasuk di dalam diri perempuan. Cinta menjadi fokus utama hidup perempuan
adalah hasil dari penanaman ideologi yang dilakukan oleh berbagai aparatur
ideologi seperti; dongeng, media massa
dan bahkan buku-buku pelajaran di sekolah. Menurut Karla Mantila, bahkan
seorang perempuan yang mempelajari dan setuju dengan pemikiran-pemikiran
feminis sekalipun bisa terjebak di dalam hubungan percintaan yang tidak sehat
atau tidak sejajar. Mantila berpendapat hal ini disebabkan karena dibanding
dengan pemikiran feminis yang ada pada diri seorang perempuan, sosialisasi
mengenai cinta, perasaan dan hasrat jauh lebih mendalam. Kondisi tersebut
disebabkan karena sosialisasi mengenai normalitas “cinta” sudah dimulai semenjak
kecil dan dilakukan oleh orang-orang terdekat bagi perempuan (keluarga). Salah
satu cara untuk membebaskan dari belenggu “cinta” adalah menciptakan atau
menikmati karya yang tercipta dari pengalaman tubuh perempuan sehingga karya
tersebut beroposisi dengan pemikiran patriarki mengenai bagaimana seharusnya
perempuan.
Musik dan Sastra yang Membebaskan
Karya perempuan termasuk
di bidang sastra dan musik, memiliki potensi untuk melepaskan perempuan dari
penjara sosial yang sangat patriarkis. Para penulis
muda perempuan seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu misalnya, menawarkan
diskursus yang memungkinkan perempuan untuk memilih tidak menikah ataupun menganggap
cinta dan jatuh cinta sebagai hal yang tidak terlalu penting dalam hidup.
Meskipun banyak kritik yang ditujukan kepada mereka, termasuk kritik yang
mencoba menunjukkan bahwa sebenarnya para penulis perempuan tersebut belum bisa
lepas dari pemikiran patriarkis yang berorientasi pada phallus (penis). Tetapi bagaimanapun juga, para penulis perempuan
tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki hasrat seksual, dan memiliki
pengalaman tubuh yang spesifik. Dengan kata lain menjadi “normal” dan bertingkah
laku sesuai dengan konvensi sosial tentang perempuan, bukanlah satu-satunya
pilihan bagi perempuan.
Selain sastra, musik
juga memiliki potensi besar sebagai media perlawanan. Di negara seperti Amerika
dan Inggris berkembang fenomena yang disebut sebagai “riot grrrl.” Fenomena bermusik ini dimotori oleh
perempuan-perempuan muda yang muak terhadap musik mainstream atau major label.
Mereka menilai major label hanya
mengutamakan nilai komersial dan cenderung mengabaikan idealisme bermusik itu
sendiri. Mereka juga berargumen bahwa orientasi komersial membuat musik mainstream tidak punya keberanian untuk
menawarkan diskursus yang berbeda mengenai cinta, kehidupan dan juga makna
menjadi perempuan. Riot Grrrl mencoba
untuk menawarkan kepedulian mereka mengenai posisi perempuan di masyarakat
melalui musik mereka. Karya yang menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu
perempuan dan merepresentasikan ikatan atara sesama perempuan, merupakan upaya signifikan
untuk menyadarkan perempuan tentang pilihan yang ada dan karya yang demikian juga
memiliki potensi untuk merubah posisi tawar perempuan di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar