Pernah pada suatu masa perempuan itu menulis hujan. Rinai
hujan dijadikannya rangkaian mimpi mengalir yang berhulu pada harapan. Dia percaya
waktu akan berjalan menuju kepada penemuan diri yang sejati. Menemukan esensi tentang rasa yang terlihat jelas dan linier. Semua seolah bisa dijelaskan melalui rasa yang apa adanya. Hitam dan putih masih terlihat sangat jelas berbeda.
Dengan tekun perempuan itu menulis hujan. Menggambarkan rintiknya satu demi
satu, berusaha menguraikan kebenaran secara riang. Namun nuansa hujan berlahan berubah
jadi abu-abu. Semakin dia berusaha untuk menulis secara jelas, semakin sulit dia menemukan
rangkaian kata yang tepat. Tangannya berlahan mulai gemetar, dia mulai ragu
akan kebenaran yang tunggal. Perempuan itu menghela nafas dan mulai menyadari berbagai versi kebenaran pada setiap perpektif yang berbeda. Tidak ada kebenaran yang tunggal. Dia pun tak
sanggup lagi menulis hujan.
Perempuan itu kini hanya sanggup membaca hujan. Menyesuaiakan
mimpi dengan kenyataan. Menelan kekecewaan agar tetap punya harapan. Menjalankan
peran yang ada, sambil terus bermimpi yang tiada. Merenung betapa mudah dia
terperdaya oleh kata-kata yang hampa. Menyesal
pernah menangisi rayuan dan percaya begitu saja kepada ketulusan. Dia mulai menyadari
kehadiran wilayah abu-abu. Membaca norma secara berbeda. Menyadari normalitas
berdiri di atas penyingkiran mereka yang dianggap abnormal. Sedih betapa yang
merupakan kesepakatan mayoritas menjadi sesuatu yang dianggap natural. Berbagai kekerasan simbolik terjadi tanpa disadari untuk mempertahankan normalitas. Penggandaan
realitas tanpa henti membuat mata perempuan itu mulai berair lelah. Hiruk pikuk
tanda telah membuatnya kehilangan kemampuan untuk membaca hujan.
Akhirnya, perempuan itu hanya mampu mengeja hujan. Memandang
satir pada mimpi-mimpi yang pernah ada. Sadar bahwa ketidaksadaran akan terus
ada. Mulai melepaskan semua yang dulu pernah diyakini. Mengeja satu per satu
derai hujan dengan suara parau. Memasang wajah hampa pada ketulusan. Merasa
betapa mudah dia sakit karena hujan. Dia pun sampai pada keputusan untuk membiarkan
kebohongan, memaksakan diri untuk masuk ke dalamnya. Membisukan suaranya ketika
dibodohi. Namun segala upaya untuk membuat dirinya kebas, tidak mampu meredam
berbagai pertanyaan nurani. Dia mulai mempertanyakan ketidaksadaran, menertawakan
kebodohan diri dan mulai melawan dengan berkata
kepada hujan, “Aku tidak mau hanya mengejamu. Aku akan menuliskanmu lagi, namun
kali ini dengan caraku, melalui suaraku sendiri.” Tanpa air mata perempuan itu
mulai menulis ejaan hujan dengan caranya sendiri.
Januari, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar